KH IMADUDIN AL-BANTANI: MENANGGAPI KATA PENGANTAR KURTUBI LEBAK
Di antara yang di katakana Kurtubi Lebak (KL) adalah:
―Keabsahan Nasab Sådah Ba 'Alawi semenjak berabad-abad yang lalu sudah diakui oleh para Ulama Besar Ahli Syariat, Ahli Nasab, dan Ahli Sejarah. Jika dirunut, tidak kurang dari 100 kitab karya ulama non-Ba 'Alawi yang di dalamnya terdapat pengakuan terhadap keabsahan nasab Ba 'Alawi atau status Ba 'Alawi sebagai al-Husaini (Keturunan Sayidina Husain) atau Asyraf atau Sadah. Ulama- ulama tersebut berasal dari berbagai negara dan berbagai mazhab Ahlus- Sunnah wal-Jama'ah (Aswaja), bahkan di luar Aswaja. Sehingga tidak heran jika sebagian ulama seperti al-Imam al-Muhibbi, al-Imam anNabhani dan al- 'Allamah Syaikh Ali Jum'ah-sampai berani menyatakan bahwa kesahihan Nasab Ba 'Alawi diakui secara ijmak (konsensus).‖[1]
Penulis kitab nasab dari Yaman abad
ke-9 H. saja Muhammad Kadzim al-Yamani (w.880 H.) tidak mencatat keluarga
Abdurrahman Assegaf sebagai keturunan Ahmad bin Isa. abad sembilan itu wahai
KL, nasab Ba‘alwi baru dipabrikasi; Baru diijtihadi.
Ia baru dicatat secara formal oleh Ali al-Sakran (w.895 H.) dalam kitabnya
Al-Burqat al-Musyiqah. Lalu ulama-ulama setelahnya yang ada kaitan dengan
Ba‘alwi mencatatnya sesuai pengakuan Ba‘alwi itu tanpa memverifikasi dalam
kitab-kitab nasab muktabar. Nasab keuarga Abdurrahman Assegaf baru masuk kitab
nasab tahun 996 H. abad kesepuluh Hijriyah setelah 651 tahun wafatnya Ahmad bin
Isa. sebelum masuk kitab nasab hal itu didahului pengakuan mereka sendiri di
tahun 895 H. jadi mereka mengaku sebagai keturunan Ahmad bin Isa itu setelah
550 tahun, lalu setelah 101 tahun dari pengakuan itu baru nasab mereka masuk
kitab nasab yaitu Tuhfat alThalib. Itupun dengan pengakuan penulisnya bahwa
nasab Alwi ini masuk bukan berdasarkan kitab nasab tetapi hanya berdasarkan
ta‘liq (tulisan di secarik kertas) yang ia temukan saja.
Kita sebagai guru tidak boleh
mengajarkan taklid buta kepada para murid kita agar murid kita menjadi ulama
mumpuni. Ulama yang memiliki nalar kritik seperti Imam Syafi‘I, Imam Hanafi,
Imam Maliki, Imam Ahmad dsb. Bukan malah menjadikan murid kita bodoh hanya
menerima apa yang telah difikirkan dan ditetapkan ulama masa lalu.
Bagi ulama, taklid itu seperti
syetan. Ia menjauhkan manusia untuk dapat mencapai kebenaran yang hakiki.
Al-Qur‘an dengan segala makna dan rahasianya yang menakjubkan, inti ajarannya,
tidak akan dapat diraih oleh orang yang terhalang fanatisme suatu pemahaman
sebelumnya, padahal pemahaman itu tanpa ada dalil sedikitpun. Sebuah konklusi
yang ditaklidi seorang ulama secara buta, menunjukan bahwa hatinya telah
tersegel oleh fanatisme dari apa yang telah ia dengar dan ia baca padahal ia
tidak mengetahui apakah yang ia dengar dan i abaca itu bersumber dari dalail
atau tidak. Lehernya telah terikat oleh tali taklid yang kuat yang ditautkan di
tiang pemahaman sebelumnya, sehingga ia tidak bisa berjalan jauh untuk mencapai
―bashirah‖ dan ―musyahadah‖ dari hakikat suatu kebenaran.
Jika berkemilau cahaya kebenaran
yang hakiki dari kejauhan, lalu hampir saja hatinya menerima kebenaran itu,
maka tali syetan taklid itu akan langsung menariknya dan berkata ―Bagaimana
sampai terlintas dihatimu kesimpulan yang berbeda dengan gurumu atau
leluhurmu?‖ Itulah cara kerja syetan dalam mempermainkan ulama dan
menjerumuskannya untuk tetap berada dalam kubangan taklid dan menghalanginya
untuk menaiki tangga-tangga hakikat.
Ulama itu ada tiga: Pertama, ulama
yang diberikan kemampuan ilmu yang interdisiplin dari berbagai sisi pengetahuan
yang dengannya ia dapat berijtihad secara mutlak, langsung dari al-Qur‘an dan
Hadits. Bagi ulama semacam ini haram bertaklid kepada ulama lainnya.
Yang kedua, adalah ulama yang
mengetahui pendapat ulama mujtahid beserta dalil-dalilnya, maka ia men-―tarjih‖
mana di antara para mujtahid itu yang pendapatnya didukung oleh dalil yang
kuat, lalu ia mengikuti pendapat yang didukung oleh dalil yang kuat itu. Walau
pendapat itu berbeda dengan madzhabnya sendiri.
Yang ketiga adalah ulama yang
mengetahui pendapat-pendapat para mujtahid, ia mengetahui bahwa pendapat para
ulama ini masingmasing mempunyai dalil, namun ia tidak mempunyai kemampuan
mentarjihnya, atau ia mampu, namun ia tidak mempunyai waktu, maka ia boleh
bertaklid kepada para mujtahid itu. Dalam masalah inipun, sebenarnya terjadi
perbedaan pendapat para ulama: ada yang membolehkan baginya taklid ada yang
mengharamkannya. Namun, jika ulama mengetahui bahwa pendapat itu tidak
mempunyai dalil apapaun, baik dari al-Qur‘an, ijma‘ dan Qiyas, maka haram
baginya mengikuti pendapat itu.
ولا تَ قْفُ مَا ليْسَ لكَ بوِ عِلْمٌ ۚ إنَّٖ
السَّمْعَ والبصَرَ وَالفُؤادَ كُلُّ أولَٰئِكَ كَانَ عَنْوُ مَسْئولًا )الاسراء:
ٖٙ(
Banyak sekali Al-Qur‘an menyindir
orang-orang yang selalu mengatakan kita ikuti orang tua-tua kita saja, padahal
orang tua kita tidak maksum. Walaupun orang tua kita ulama belum tentu ia
selalu benar. Ia manusia yang bisa salah bisa juga benar. Kewajiban kita
memverifikasi setiap apa yang diucapkan oleh orang-orang tua kita. Jika itu
benar maka kita perkuat jika itu salah kita luruskan. Di bawah ini contoh
ayat-ayat Al-Quran yang mencela orang yang mengikuti tanpa dalil dan selalu
berkata kami mengikuti ayah-ayah kami, tanpa mau berfikir:
قالوا أجِئْ تَ نا لتَ لْفِتَ نا عَمَّا
وجَدْنًَ عَلَيْوِ آبَاءنًَ وَتكُونَ لكُمَا الكِبْريََءُ
في الْأرْضِ وَمَا تَ٨ْنُ لكُمَا تُٔؤْمِنتَُ
)يونس: ( فَ لمَّا جَاءىُم مُّوسَىَٰ بِِيََتنا بَ يناتٍ قالوا مَا ىََٰذَا إلَّا
سِحْرٌ مُّفْتَ رى
وَمَا تَِٝعْنا بِهذَا فِي
آبَائنا الْأوَّلتَُ )القصص: (
وَإذَا قيلَ تَ٢ُمُ اتبعوا مَا أنْ زلَ الَّلَُّ
قالوا بلْ نَ تبعُ مَا ألفَيْ نا عَليْوِ
آبَاءنًَ
)البقرة: (
وَإذَا قيلَ تَ٢ُمْٔ تَ عَالوْا إلَىَٰ مَا أنزََل الَّلَُّ وَإلَى الرسُولِ
قالُوا حَسْبُ نا مَا وجَدْنًَ عَليْوِ آبَاءنًَ ۚ أوَلوْ كَانَ آبَاؤىُمْ لَا ي
عْلمُونَ شَيْ ئا ولَا ي هْتدُونَ
)ات١ائدة:ٔٓٗ(
Ulama itu tidak maksum. Itu yang
harus difahami secara mendalam.
―Anehnya, setelah lebih dari 1.000 tahun, barulah
muncul Imaduddin bin Sarman mengatakan bahwa Ubaidillah kakek Ba Alawi bukanlah
anak dari Ahmad bin Isa, sehingga nasab Ba 'Alawi batal sebagai dzurriyah Nabi
Muhammad Saw.!? Lebih dashyatnya lagi, orang tersebut merasa hanya dirinya
Indonesia: yang benar dan semua ulama besar yang mengakui nasab Ba 'Alawi
adalah salah! Belum lagi ditambah dengan narasi-narasi kebencian dan
diskriminasi rasis yang diembuskan oleh Imaduddin dan kroninya! Lâ haula wala
quwwata illa billah.‖
KL perlu tahu, dan itulah mengapa
kita perlu terus belajar, bahwa penulis bukanlah orang yang pertama mengatakan
Ubaid bukan anak Ahmad bin Isa tetapi itu adalah ucapan seorang ulama besar
Ahlussunnah wal Jamaah yaitu Imam al-Fakhrurazi dalam kitabnya Al-syajarah
al-Mubarakah. Ia mengatakan:
أما أتٛد الابح فعقبو من ثلاثة بنتُ: محمد ابو
جعفر بالري، وعلي بالرملة، وحستُ عقبو بنيسابور
“Adapun Ahmad al-Abh maka anaknya yang berketurunan
ada tiga: Muhammad Abu ja‘far yang berada di kota Roy, Ali yang berada di
Ramallah, dan Husain yang keturunanya ada di
Naisaburi.‖[2]
Dari kutipan di atas Imam
Al-Fakhrurazi tegas menyebutkan bahwa Ahmad al-Abh bin Isa hanya mempunyai anak
tiga yaitu Muhammad, Ali dan Husain. Ahmad al-Abh tidak mempunyai anak bernama
Ubaidillah. Dari ketiga anaknya itu, semuanya, menurut Imam al-fakhrurazi,
tidak ada yang tinggal di Yaman.dari situ berita selanjutnya dari abad ke-9
bahwa anaknya tambah satu yaitu Ubaid/Ubaidillah/Abdullah tertolak.
Wassalam.

This post have 0 comments
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...
EmoticonEmoticon